RESENSI BUKU GADIS PANTAI
RESENSI BUKU ‘GADIS PANTAI’
Judul : Gadis Pantai.
Penulis : Pramoedya Ananta Toer.
Penerbit : Lentera Dipantara.
Tahun terbit : 1970 an.
Gadis Pantai merupakan sebuah karya berupa buku dari
karangan seorang sastrawan terkenal di Indonesia. Pramoedya Ananta Toer
namanya, beliau lahir pada tahun 1925 di Blora, Jawa Tengah.
Pramoedya Ananta Toer merupakan sosok yang sering
dipenjara karena menulis. Hampir separuh hidupnya dihabiskan di dalam penjara. Pram
pernah merasakan penjara di tiga era kekusaan yang berbeda di Indonesia. Penjara
yang paling lama dirasakan Pram adalah saat Orde Baru, Pram di tahan selama 14 tahun tanpa
diadili. Menjadi tahanan tidak membuat Pram patah semangat dalam menghasilkan
tulisan tulisan hebat. Lebih dari 50 karya bisa beliau hasilkan dan
diterjemahkan ke dalam lebih dari 42 bahasa asing.
Buku Gadis Pantai ini sebenarnya merupakan cerita
berkelanjutan yang di kemas dalam trilogi. Namun, dua naskah kelanjutannya
habis dibakar oleh Angkatan Darat karena semua buku dan naskah karangan
Pramoedya Ananta Toer dilarang beredar di Indonesia. Buku seri pertama yang
selamat dan berhasil terpubliskan hanya Gadis Pantai ini. Yang saat itu buku
tersebut dibawa oleh salah satu mahasiswa Universitas Negeri Australia untuk
dijadikan sebagai bahan kajian tesisnya.
Tema buku ini sangat menarik bagi saya. Mengusung tema
Patriarki dan Feodalisme, yang saat itu atau bahkan sampai sekarang masih
berkembang dikalangan masyarakat.
Gadis Pantai panggilannya, sosok gadis manis yang
lahir dan tumbuh di perkampungan nelayan. Di kampung nelayan tersebut sebagian
penduduknya tidak memiliki pendidikan tinggi, bahkan tidak pernah mengenyam
pendidikanselain tidak berpendidikan, warga kampung nelayan juga tidak mengenal
Tuhan. Mereka beralasan terlalu sibuk bekerja sehingga tidak sempat untuk
beribadah. Tidak ada warga yang berkeinginan memajukan kampungnya. Pemikiran mereka
hanya pihak laki laki pergi bekerja ke laut untuk mencari ikan dan pihak
perempuan mengurus dapur dan suaminya.
Nasib baik berpihak kepada Gadis Pantai, dia dilamar
oleh seorang bangsawan yang bekerja pada administrasi Belanda, biasa disebut
Priyayi/ Bendero yang ahli agama dari Jawa. Gadis Pantai dinikahkan di kampung
nelayan dan keris sebagai perwakilan dari Bendero. Warga kampung yang tidak
mengerti agama bersuka cita memnyambut berita tersebut. Padahal pernikahan
tersebut tidak sah dimana agama.
Gadis Pantai yang saat itu berusia 14 tahun hanya
dijadikan gundik, karena dia berasal dari kaum rendahan. Dengan berganti nama menjadi
Mas Nganten, Gadia Pantai mencoba beradaptasi dengan lingkungan tempat tinggal
suaminya. Dengan label Gundik, Gadis Pantai akan menjadi istri Bendero sampai
Bendero menikah dengan wanita yang sama sama dari kalangan atas. Dan selama
Bendero belum menikah dengan wanita dari kalangan atas, Bendero masih dianggap
perjaka. Dia hanyalah istri percobaan.
Meski sempat direndahkan, Gadis Pantai berhasil
menjadi wanita anggun dan terdidik seperti wanita dari kalangan atas, berkat
pelajaran pelajaran yang selama ini dipelajarinya. Lama kelamaan Gadis Pantai
mulai tumbuh rasa rindu jika suaminya lama tidak pulang. Padahal saat awal
menikah, untuk mengakat wajah didepan suaminya saja Gadis Pantai tidak berani. Namun
karena doktrin dari ayahnya sedari kecil sehingga terciptalah sifat Gadis
Pantai yang penurut. Itulah sebabnya dia selalu menurut saat diperintah.
Dengan status istri pembesar, Gadis Pantai pulang ke
kampung nelayan dengan rasa bangga. Warga kampung nelayan menyambutnya dengan
suka cita, mengeluh eluhkanya. Serta menghormatinya selayaknya istri istri
oembesar dari kalangan atas lainnya.
Namun kehidupan bahagia versi Gadis Pantai harus
terhenti setelah ia diceraikan setelah melahirkan putri pertamanya. Dia dilarang
keras menginjakkan kaki di rumah pembesar ini.
Ending yang sangat membagongkan dan membuat
penasaran banget. Andai saat itu kedua naskah lanjutan dari buku ini masih
utuh, pasti tahu bagaimana nasib si
Gadis Pantai dan putrinya yang hak asuhnya ada di suaminya. Sebenarnya ini yang
paling membuatku bingung saat membacanya. Bendero yang merupakan ahli agara
yang rajin sholat dan mengaji menikah dengan diwakilkan oleh sebuah benda. Yang
merupakan tidak sah dimata Islam. Meskipun hanya gundik/ istri sirih. Tapi, hak
asuh anak jatuh pada pihak suami. Sedangkan nasab si anak jatuh ke ibunya.
Dibuku ini sangat gamblang terlihat tidak adilan
bagi seorang wanita. Dimana hak dan kebebasannya direngut. Mereka dibuat tidak
punya pilihan, dan tidak bisa membangkang saat diperintah. Seperti halnya Gadis
Pantai, dia ingin memberontak dan menolak pernikahannya, namun tidak bisa. Saat
dikediaman suaminya dia hanya bisa patuh dengan Bendero yang menganggapnya
hanya sebagai budak pemuas nafsu. Haknya sebagai ibu direngut, dia tidak bisa
melawan karena peraturan pada jaman Belanda, anak hasil dari hubungan dengan
gundik hak asuhnya jatuh pada pihak ayahnya/ suami gundik tersebut. Hak wanita
tertindas tanda bisa bangkit.
Di buku ini juga terdapat Feodalisme dan Patriarki. Feodalisme
di Jawa yang sangat tidak beradab dan kemanusiaan. Perlakuan tidak kemanusiaan
uang dilakukan kalangan berstatus sosial tinggi terhadap kaum rendahan. Patriarki
yang marak dilakukan dari jaman dahulu hingga sekarang. Seperti halnya Bendero
yang semena mena.
Meski tidak jelas kelanjutan nasib dari Gadis
Pantai, tapi di telisik dari prolog sepertinya Gadis Pantai menikah kembali
dengan seorang nelayan. Hari tuanya hanya dihabiskan dengan mengumpulkan barang
barang bekas yang diarasa unik.
Kekurangan buku ini hanya pada alur cerita yang
sangat membingungkan. Meski gaya bahasa lebih enak daripada tulisannya di
Tetralogi Buru.
Komentar
Posting Komentar