Gabut 44
Catatan Harian si Dina, Minggu 06 Desember 2020. Hari ini aku tidak produktif sama sekali. Di ajakin senam tidak mau, rasanya mau apa apa malas sekali. Satu satunya yang tidak membuatku malas adalah main dengan Reppa. Orang tuaku juga mengakui secapek capeknya kalau sudah ketemu itu bayi pasti hilang capeknya. Baru pulang kerja meski capek pasti gendong Reppa dulu baru puas. Aku mengantuk saat menulis ini, masih mendengarkan diskusi materi filsafat melalui Google Meet. Hariku tidak produktif, mangkanya aku bingung mau menulis apa. Pikiranku juga tidak produktif, hari ini tidur terus aku. Eh ada kayaknya, aku mikirin rencana ke Tuban hari selasa nanti. Bingung nanti mengikuti kelas bagaimana supaya tidak ribet bawa laptop. Nah aku ke Tuban ini untuk menghadiri pernikahan salah satu sepupu jauhku. Padahal ya yang nikah ini baru umur 17 tahun, bahkan sama pihak KUA sidangnya berulang kali dilakukan karena masih di anggap belum cukup umur. Rata teman sekelasku yang anak daerah situ, memang dari umur lulus SD rata rata sudah harus menikah. Dan temanku ini dia melanjutkan pendidikan sampai jenjang universitas sudah di labeli orang sebagai perawan tua. Pemikiran kolot masyarakat seperti inilah yang membuat generasi muda menjadi kurang berkembang. Sama seperti masyarakat yang sering berpikir bahwa perempuan itu tidak boleh mempunyai jenjang pendidikan tinggi karena bisa susah mendapat jodoh atau terlalu nyaman meniti karir. Orang tua tua berangggapan wanita karir itu perbuatan tercela yang menyalahi kodrat. Perempuan itu di haruskan hanya menguasai ilmu perumah tanggaan 3 M, Masak, Macak (bersolek, dandan), Manak. Pemikiran seperti ini yang kadang membuat perempuan di tindas dan di jadikan babu di rumah sendiri. Bahkan para suami sering kali tidak menghargai istrinya sendiri. Berasal dari doktrin orang tua terdahulu hingga menurun ke anak cucu di jaman sekarang. Beberapa tetanggaku pernah bilang begini padaku “Nanti mau kerja apa kalau lulus kuliah?, mending selama kuliah sambil cari jodoh, jadi enak lulus langsung nikah saja, tidak usah susah susah kerja kalau sudah ada suami’. Heii perempuan itu harus punya modal untuk dirinya sendiri di masa depan. Tidak bisa selamanya bergantung pada suami, karena itu semua tidak menjamin akan bertahan selamanya. Selain itu istri juga bisa membantu perekonomian suami. Rumah tangga rusak itu tidak selalu tentang orang ketika, karena kebanyakan juga dari masalah perekonomian. Apalagi jika sang istri tidak memiliki pemikiran terbuka, semakin buntulah masalah tersebut. Untunglah orang tuaku memiliki pemikiran terbuka, aku di ijnkan sekolah S 2 nantinya jika aku ingin. Karena bagi orang tuaku tidak masalah jodoh datang setelah karir. Semakin tinggi kualitas diri semakin baik pula jodohnya. Jarang orang yang berpikir seperti orang tuaku ini. Dan aku bersyukur terlahir di keluarga yang dapat menghargai wanita karir. Bisa di bayangin kalau aku lahir di daerah pedalaman mungkin di umur segini anakku sudah 7, suamiku lagi nyangkul di kebon dan aku lagi cari daun singkong buat lauk makan malam. Tidak ada pemikiran untuk memperbaiki perekonomian atau mengurangi anak, dengan tetap mempertahankan anggapan ‘Banyak anak banyak rejeki’. Bahkan tidak tahu bahaya yang mengintai bagi remaja yang malahirkan dapat menyebabkan kematian. Ini jadi bahas apaan dah kok ngelantur. Aku mau mentyudahi menulis blog karena hujan, takut petir aku. Wifinya juga takut putus, wassalam.
Komentar
Posting Komentar