Gabut 49

 

Catatan Harian si Dina, Jum’at 11 Desember 2020.  Hari ini aku diskusi kecil kecilan bersama papaku. Sudah biasa sebenarnya kami lakukan diskusi diskusi ini  hampir setiap hari. Kali ini kami membahas tentang pilkada yang kemarin dilakukan. Biasanya diskusi kecil ini di mulai saat aku mengeluarkan celetukan yang ada di kepalaku, pertanyaan pertanyaan sederhana yang tidak mampu aku pikirkan sendiri. Aku melihat di sosial media, banyak orang yang melakukan golput pada pemilu kemarin. Itu menujukkan bahwa rakyat Indonesia mulai hilang kepercayaan terhadap pemerintahan negerinya sendiri. Bahkan  ada di beberapa daerah tidak ada pemenangnya. Lebih tinggi angka golputnya ketimbang angka pemilihan kandidatnya. Kemungkinan nanti akan di adakan pemilihan ulang, namun mengetahui masih adanya virus covid 19 membuat permasalahan baru. Kemarein aku merlihat di daerah nama begitu aku lupa, sekitar 1000 pemilih terindikasi virus corona. Aku berpikir kenapa tidak melakukan pemilu secara onlen saja seperti beberapa negara, agar lebih efektif dan  praktis. Tentu saja akan mengurangi pengeluaran negara dan meminilarisir adanya korupsi dana pemilu. Tapi kata papaku, cara ini banyak tidak di setujui oleh pejabat pejabat, mereka menganggap cara ini melanggar asas pemilu yaitu LUBERJUDIL yang Rahasia. Mereka beranggapan dengan cara ini identitas pemilih akan di ketahui oleh pihak operasional. Dan itu akan  membuat  rakyat yang hidup di pedalaman atau kurang akses internet akan kesulitan menggunakannya. Yang sebenarnya itu semua dapat di atasai dengan pembuatan alat seperti  bilik ATM untuk bilik pemungutan suara di daerah daerah tertinggal tersebut. Agar identitas pemilih tidak di ketahui juga dapat di atasi. Indonesia tidak kekurangan  orang ahli IT, banyak cara agar kita bisa mewujudkan asas LUBERJDIL di pemungutan suara onlen. Jelas para pejabat tersebut tidak ingin melepaskan penghasilan  ilegal mereka, yaitu dari korupsi dana pemilu. Indonesia hanya kekurangan orang jujur. Untuk di daerahku sendiri pemungutan suara di lakukan secara bergiliran agar tidak menimbulkan kerumunan. Ada sesi sesi yang di waktu untuk beberapa rumah. Setelah cuci tangan, tangan akan di cek suhunya kemudian di beri handsinitizer  kemudian di beri sarung tangan  plastik. Nahh ini mungkin bakalan  menjadi baru di masyarakat. Dari yang ku dengar dari beberapa tetanggaku, sarung tangan plastik tersebut di bawah pulang untuk membuat kue. Pemikiran orang orang desa seperti daerahku ini seperti memanfaatkan semua barang yang ada. Apalagi barang baru seperti sarung tangan plastik ini. Mereka jarang bahkan tidak tahu sebelumnya kalau ada benda seperti ini. Bukankah kalau di pakai untuk membuat adonan akan menyebarkan virus di makanan tersebut. Padahal itu sarung tangan plastik tadinya di pakai untuk memegang pulpen dan paku coblosan yang sudah di pegang orang banyak juga. Petugas pemilu juga tidak membuat peringatan membuang sarung tangan  plastik tersebut. Menurut saya petugas pemilu masih tidak memikirkan dan memperhatikan hal kecil tersebut. Meski terkesan sepele tapi berdampak besar. Kebijakannya tidak efektif dan  pastinya akan menamnbah dana pemilu lagi. Pastinya membuka peluang korupsi semakin lebar. Seperti kasus pada pemilu tahun tahun lalu, terjadi pembengkakan dana untuk pembelian paku coblosan. Dana yang di ajukan dan angka yang dilaporkan terlalu tinggi untuk ukuran harga paku itu sendiri. Sangan tidak relevan pada kenyataan di lapangan  karena paku yang di gunakan berkarat dan tidak seperti barang baru beli. Beberapa daerah juga mendapatkan bilik suara berbahan dasar kardus. Rakyat semakin tertindas saja oleh pemerintahannya. Pemerintah seharusnya memperhattikan kesejahteraan rakyat, karena bagaimanapun kuasa tertinggi ada pada rakyat.  Namun terhalang saja dalam menyampaikan pendapatnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU JEJAK LANGKAH

RESENSI BUKU GADIS PANTAI

RESENSI BUKU ANIMAL FARM