Gabut 56
Catatan Harian si Dina. Jum’at 18 Desember 2020. Tadi
siang aku sempat di buat pusing, memaksa otakku bekerja untuk berpikir. Hasan,
lelaki yang pemikirannya sedikit oleng atau orang bilang pikirannya “gak jangkep” membuat celetukan yang
mampu membuat orang yang mendengarnya ikut berpikir. Tidak tahu dia mendapat
innformasi darimana, tapi dia tahu tentang berita negara Jepang yang mendapat
bantuan dana dari PBB sebesar 900 Milyar hanya gara gara kain batik dari Yogyakarta.
Katanya, ada orang Jogja yang menikah dengan orang Jepang dan mereka membuat
kerajinan batik di Jepang sana. Kain batik khas Jogja ini mendapat apresiasi
dari pihak PBB, dan negara Jepang mndapat dana untuk mengembangkan kerajinan
kain batik khas Jogja ini. Yang ada di pikirannya itu, kenapa bukan orang
indonesianya yang mendapatkan bantuan dana?, apa yang dilakukan orang Jepang
sehingga mudah mendapat bantuan dana sebesar itu dari PBB?. Itu motif kan dari Indonesia,
punya Indonesia dan di buat orang Indonesia. Jepang ada hak apa mendapat
bantuan atas bukan karyanya?. Dia juga bercerita dulu ada orang Indonesia yang
menjual motif batik ke orang luar dengan harga tinggi, dan orang luar itu mengembangkannya
sehingga berpenhasilan melebihi harga beli motif itu sendiri. Seperti Belanda
yang suka dengan wayang dan gamelan dari Jawa, Tiongkok yang mulai mengklaim
Barongsai dan banyak lagi yang bisa di kembangkan di negeri sendiri tapi kurang
di hargai sehingga di klaim negara lain. Hasan juga bercerita tentang seorang
pengusaha asal Indonesia yang sukses di Jepang tapi tidak pernah mengakui
negaranya kelahirannya yaitu Indonesia, karena dia pernah di usir dari Indonesia. Aku tidak tahu alasan
dia di usir dari Indonesia, yang ku tahu orang ini sangat benci dan dendam
tentang Indonesia. Hasan juga ceritanya berbelit belit dan susah di pahami
bahasa anehnya jadi aku tidak terlalu paham. Benar juga pemikiran Haasan ini,
ibarat Indonesia hanya memiliki mentahnya kemudian di distribusikan ke luar
negeri untuk di produksi dan di pasarkan. Kemudian yang terkenal di pasaran ya
distributornya bukan pemasoknya, yang kemudian Indonesia import dari negara
yang membeli SDA nya. Ibaratnya Indonesia hanya butuh uang dari hasil penjualan
tanpa berpikir bahwa ini masih bisa di kembangkan dan bisa menghasilkan yang
lebih dari hasil penjualan. Mamaku sempat menyeletuk, “bukannya orang Indonesia memang realistis pemikirannya kalau soal
uang?”, menurutku bukan realistis itu, tapi memang tidak mau menunggu
proses untuk hasil yang lebih baik dan memang dasarnya pribumi tidak pernah tahu
uang sebanyak itu, jadinya silau saat ada yang menawar barang mentah dengan
harga yang menurut mereka tinggi. Seperti bule bule dan orang mata sipit yang
datang ke Indonesia untuk membangun usaha, orang Indonesia bukannya menjadikan
mereka panutan atau insirasi serta belajar banyak dari mereka, malah memberi
mereka peluang menjajah secara halus. Mereka dirikan pabrik pabrik yang mereka
pimpin dengan buruh orang asli Indonesia. Merka butuh pesuruh dan orang Indonesia
butuh uang untuk bertahan hidup. Saling bermanfaat, tapi pihak Indonesia yang tertindas
harga dirinya secara terselubung. Tidak munafik bahwa kehadiran orang asing
tersebut sangat membantu perkonomian para buruh. Tapi kita memang berjiwa
budak, seperti itulah negara maju memandang kita. Sekarang tugas Generasi
Milenial untuk memperjuangkan dan mengembangkan karya bangsa.
Komentar
Posting Komentar