Gabut 61

 

 Catatan Harian si Dina. Rabu, 23 Desember 2020. Tadi pagi diadakan sebuah tumpengan di punden. Ini merupakan kegiatan wajib bagi keluarga yang mau punya hajat. Atau bagi keluarga yang sedang penen berlimpah. Terkadang juga diadakan pada setiap babak pada masa menanam padi. Contohnya saat babat sawah sebelumnya diadakan kenduren di punden, sebelum membajak sawah agar siap ditanami, sebelum menanam, saat masa nyemi agar tidak diserang hama padinya, kemudian saat panen ini biasanya besar besaran. Kalau yang mengadakan para petani gini biasnya mereka bergiliran yang mengeluarkan tumpeng, karena biasnya ada kelompok taninya. Punden sendiri merupakan sebuah makam nenek moyang desa, atau sesepuhnya yang masih di hormati sampai saat ini. Biasanya punden berada di tempat terpencil seperti di tengah sawah. Punden biasanya dikelilingi oleh pohon pohon besar yang memberikan kesan menyeramkan. Sehingga punden sering dianggap tempat angker. Makam leluhur ditempat terpencil dikelilingi pohon pohon besar semakin mendukung aura mistisnya. Nah tetanggaku  ini mengeluarkan tumpeng dalam rangka resepsi pernikahan sekaligus acara tingkeban 4 bulanan. Mereka akadnya sudah dari jaman pandemi corona pertengahan dulu, resepsinya dipending eh keburu hamil. Pasti sekarang banyak terjadi pada pasangan yang menikah pada musim corona. Kebanyakan sudah hamil besar saat resepsi yang baru bisa diadakan pada akhir tahun seperti ini. Meski menurut kalender jawa ini bukan waktu yang bagus untuk menikah karena musim hujan.tapi ya mau bagaimana lagi. Bagi warga Indonesia kalau tidak resepsi itu belum valid, rawan digosipi tetangga, nanti dikira hamil duluan. Kenduren tumpengan di punden ini memang sudah menjadi tradisi yang tidak boleh hilang. Sempat aku kira tradisi seperti ini musyrik dulu saat SD, kan seperti menyembah makam. Tapi bukan, ini seperti doa bersama saja di makam leluhuur untuk menghormatinya serta agar orang tidak kesulitan mencari lokasi kenduren. Tergantung niatnya juga, kalau niat berdoa untuk sesepuh desa ya bagus patut dilestarikan, kalau untuk minta doa ini baru tidak boleh. Ah ya.. tingkebban biasanya identik dengan rujak leginya, apalagi kalau dalam kondisi dingin, segar sekali rasanya. Tadi saat diberi rujak legi aku ragu untuk memakannya, pasalnya yang aku tahu gadis perawan tidak boleh ikut makan rujak leginya orang hamil. Tidak tahu alasan sesungguhnya bagaimana, tapi dari yang kuamati wanita yang sudah menikah dan belum dikaruniai anak pasti disuruh makan rujak legi agar ketularan hamil. Mungkin yang perawan tidak boleh ikut makan rujak legi agar tidak ikut hamil juga. Tidak masuk akal. Mungkin juga agar tidak kepedasan saat makan rujak legi. Rujak legi kan pedas manis begitu jadi terasa menyengat di tenggorokan. Aku dulu bahkan sampai menangis saking pinginnya makan rujak legi tapi tidak boleh. Seharian ini tadi komplek rumahku sepi sekali, ibu ibu berbondong bondong kerumah yang punya hajat untuk membanunya mempersiapkan segalanya. Dan aku kebagian menjaga bocil, seharian gendong Reppa yang rewel karena habis sakit riwa riwi untuk menidurkannya. Rupanya dia ttidak bisa tidur karena perutnya kembung, beberapa kali perutnya di tepuk tepuk, aku kira dia digigit semut diperut. Dan kemungkinan besok sampai lusa aku bakalan ikut sibuk rewang disana. Apalagi besok aku ikut jadi terima tamu jadi harus ikut di make-upin juga. Wegah sebenarnya aku kalau di make-upin, suka gatel sama ngantuk. Berhubung tetangga sekaligus teman masa kecil ya dilakukan sajalah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gabut 68

Kucing dan Ikan Asin

Aku