MISKIN KW


 

 

Mbah Nah menangis terisak seraya memukuli dadanya, merasa frustasi. Dalam gubuk reotnya tangisnya beradu dengan suara air yang jatuh dari sela lubang genteng sehingga membasahi lantai yang masih berlapis tanah tersebut. Wanita tua itu sedang marah, kesal, kecewa, dan tidak berdaya. Isakannya mengeras saat benaknya memutar kejadian sekitar dua jam yang lalu.

“ Ra ono seng ngereken mbahne ta wong wong  iki?” lirihnya meratapi nasib.

 

Dua jam yang lalu...

Rumah pak Rahmad sedang ramai dikerumuni orang. Ramai sekali, sampai sampai rumah gedongan tersebut seperti sedang melakukan bagi bagi sembako gratis. Warga heboh melihat rumah pak Rahmad ditempeli plakat ‘ Keluarga Miskin’.

Di Desa Rukawa tersebut memang hanya ada 5 rumah yang terpilih sebagai penerima PKH. Salah satunya adalah keluarga Pak Rahmad.

Mbah Nah melihatnya lantas sakit hati, sudah beberapa tahun ini beliau mengajukan diri sebagai pemerima bantuan dari pemerintah. Namun tidak ada tanggapan sama sekali. Meski berganti pemerintahan desa berkali kalipun tetap sama saja.

Budi Tabuti, salah satu pemuda desa yang aktif diberbagai kegiatan kebetulan melintasi rumah Mbah Nah sepulang dari masjid. Sayup sayup di dengarnya suara tangisan di sela rintik hujan yang semakin menderas.

“ Astagfirulloh mbah!! kenapa menangis? Ada  yang sakit kah?” jeritnya tertahan saaat melihat Mbah Nah dalam keadaan lemas setelah berjam jam lamanya menangis.

“ Mbah tiduran dulu ya, saya mau membersihkan lantai mbah ini biar tidak menggenang airnya” ucapnya seraya bergegas mencari alat apapun yang bisa dipakainya membuat jalan air di lantai tanah gubuk reot Mbah Nah.

“ Le... opo mbah iki kurang mlarat? Opo wong wong dukur iku ra ndelok omah e mbah seng kate roboh iki?!” semakin tak tahannya beliau menahan tangis. Rudi yang selesai membuat jalan air pun duduk bersimpuh di hadapan Mbah Nah, tidak peduli sarungnya  yang kotor terkena lumpur di lantai rumah reot ini.

Semakin tidak kuat hatinya melihat wanita renta ini menangis sedu sedan meratapi nasib. Meski Rudi orang jawa asli, tapi dia tidak terlalu paham bahasa jawa sebab sedari kecil dia sudah hidup di Bandung ini.

Rudi sedikit paham apa yang dimaksud Mbah Nah tadi, pasti Mbah Nah melihat Pak Rahmad mendapatkan bantuan dari pemerintah.

“ Mbah sudah daftar di ketua RT biar di serahkan di Kelurahan?” katanya hati hati, takut menyinggung perasaan Mbah Nah yang sedang kacau.

“ Ket suwe mbah daptar le, tapi ra oleh tanggepan” semakin sedih perasaannya saat mengingat semua perjuangnnya demi mendapat bantuan pemerintah tidak dihargai.

“ Besok Rudi sama teman teman coba bantuin mbah tanyakan ke kelurahan ya”

“ Iyo le... tulungono mbahmu iki...” manangis lagi lah beliau, tahu ada yang masih peduli padanya.

--------

 

Besoknya Budi, Konah, dan Tiwel menjemput Mbah Nah di kediamannya, tidak lupa mereka membawa berkas dan foto rumah sebagai bukti bahwa Mbah Nah layak dan sedang butuh bantuan.

Sampai dikantor kelurahan mereka menjelaskan maksus kedatangannya kepada pak Lurah yang kebetulan sekali sedang bertugas.

“ Ya saya tidak tahu masalah begituan, yang mendata kan bukan saya, saya ini hanya bagian menyetor data tersebut ke yang lebih atas”, katanya pak Lurah terlihat sekali beliau enggan berurusan dengan bocah bocah dan wanita tua tersebut.

“ Tapi apa bapak tidak memeriksa kelengkapan data tersebut? Mungkin ada yang terlewat atau tidak terdata.” ujar Tiwel mencoba mencari tahu lebih dalam.

“ Saya bilang kan saya tidak tahu, saya hanya terima beres saja.” gurat amarah sudah terlihat di raut wajah pak Lurah.

“ Kenapa Pak Rahmad yang bercukupan itu mendapatkan bantuan sedangkan yang lebih membutuhkan seperti Mbah Nah ini tidak mendapatkan haknya pak?”  ujar Konah berani.

“ Kalian ini jangan ikut campur masalah orang dewasa bisa?! Sudah saya bilang berkali kali saya tidak tahu menahu! Kalau mbah ini tidah dapat ya berarti bukan rejekinya begitu saja kok repot.” enteng sekali bicaranya.

“ Apa mungkin sebenarnya Mbah Nah dapat bantuan tapi dananya masuk kantong bapak? Saya lihat bapak baru saja membeli mobil baru. Padahal yang saya tahu gaji seorang Lurah tidaklah sebesar itu untuk bisa membeli kendaraan yang bisa dibilang mewah. Bapak baru menjabat belum dua tahun kan? Saya patut curiga”

Konah masih terus mencerca pak Lurah demi memperjuangkan hak Mbah Nah. Sedangkan Budi dan Tiwel berusaha menenangkan Mbah Nah yang terus menangis.

“ Kurang ajar!! bocah tidak tahu sopan santun, tahu apa kamu tentang harta kekayaan saya hah?!”

 “Sudah pergi sana... saya tidak mau lagi menerima tahu bocah sotoy seperrti kalian ini!!”

Sepulang dari kantor Kelurahan, mereka mampir ke Warung milik Mbak Sri untuk membelikan Mbah Nah makan siang. Kebetulan sekali di warung tersebut ada Pak Rahmad yang asyik ngopi bersama dua bapak bapak lainnya.

“ Bejo kamu Mad dapet bantuan dari pemerintah padahal kamu kan pekerja kantoran” celetuk seorang bapak bapak disamping kiri Pak Rahmad yang sedang memakan gorengan seraya memperhatikan ekpresi dua kawanya setelah mendengar celetukannya tersebut, Pak Soleh namanya.

“ Lha iya itu, orang orang sampai heran kok bisa kamu dapet gituan, padahal menurutku masih ada yang lebih miskin darimu” bapak bapak satunya menanggapi dengan raut wajah bingung, Pak Karim.

“ Wohiyo... yang ngurusi data di pusat sana itu masih saudara jauhku, gampanglah kalau begitu mah” ujarnya jumawa.

“ Oh ini bisa disebut Nepotisme kah?” ujar Pak Soleh sarkas, jengah dengah sikap Pak Rahmad.

Pak Rahmad terhenyak mendengar nada sinis yang begitu kentara dari Pak Soleh. Mbah Nah berserta ketiga remaja tersebut mendekati perkumpulan bapak bapak tersebut. Takut terjadi keributan.

“ Mad... kok yo awakmu tego karo mbahne iki, mbah urip ijenan nang dunia iki, mangan yo ngenteni belas kasihan tanggane, omah reot ra enek listrik e, mbah luweh butuh bantuan kae” Mbah Nah mulai menangis lagi.

“ Elah mbah! Sedekah sama saya dong, seharusnya mbah yang kudu kasihan sama saya!! Saya ini ada anak istri yang perlu dikasih makan sama biaya sekolah, belum lagi saya ada cicilan mobil, mbah kira sedikit itu semua?!” Pak Rahmad berdiri seraya menunjuk nunjuk wajak Mbah Nah. Akhlakless.

Konah menyahut dengan santai “ Lha punya mobil kok rumahnya di tempeli ‘Keluarga Miskin’? apa iya ini yang di namain Miskin KW?”

“ Enak saja kamu bilang saya miskin!!” Pak Rahmad murka.

“ Lho salah saya dimana? Memang benarkan bapak miskin? Itu buktinya ada di tembok marmer bapak”

Pak Rahmad yang ingin menyerang lebih lanjut terhenti dengan perkataan Pak Soleh, “ Bener yang di bilang bocah ini, kamu ini kan Miskin KW

Pak Rahmad pulang dengan bersungut sungut, tidak terima dibilang miskin tapi mendeklarasikan dirinya sendiri miskin. Aneh.

 

  

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gabut 68

Kucing dan Ikan Asin

Aku