RESENSI BUKU BUMI MANUSIA

 

RESENSI BUKU “BUMI MANUSIA”

Nama buku : Bumi Manusia

Penulis : Pramoedya Ananta Toer

Cetakan pertama : 1980

Penerbit : Hasta Mitra

Bahasa : Indonesia

Di terjemahkan dalam bahasa :   

·         Belanda

·         Inggris

·         Italia

·         Jepang

·         Jerman

·         Korea

·         Malayam

·         Mandarin

·         Melayu

·         Norwegia

·         Portugis

·         Ptrancis

·         Rusia

·         Serbia

·         Spanyol

·         Swedia

·         Tagalog

·         Thai

·         Thionghoa

·         Ukrania

Seri : Tetralogi Buru

Genre : History Drama

Halaman : 535 Halaman

Saat pertama kali mendengar judul buku ini yang ada di kepalaku adalah ini buku pasti tentang kehidupan rakyat Indonesia saat di jajah belanda. Yang ku lihat dari cuplikan film nya di televisi juga seperti itu. Baca deskripsinya baru aku tahu  kalau  ini merupakan cerita cinta beda kasta, pemikiranku saat itu. Saat membaca bukunya aku semakin memahami lagi, ternyata isi ceritanya tidak tentang percintaan saja. Novel yang di tulis oleh seorang mantan tahanan ini  sempat menjadi kontroversi. P ramoedya Ananta Toer, penulis buku ini sempat di tahan tanpa pengadilan di Nusakambangan  lepas pantai jawa dan  akhirnya di pulau Buru  kawasan timur Indonesia karena pandangan pro-komunis tiongkoknya pada tahu  1960-an oleh pemerintahan Soehareto. Dengan tekat kuat dan bantuan teman sesama tahanan, Pram berhasil menghasilkan Tetralogi Pulau Buru yang meliputi empat jilid, yaitu Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Jilid pertamanya di bawa secara oral (mulut ke mulut) oleh kawan seperjuangannya di penjara. Sisanya di selundupkan ke Australia untuk di koreksi dan kemudian di terjemahkan ke bahsa Inggris dan Indonesia. Keluar dari penjara, Pramoedya dan Hasjim Rachman, mantan pemimpin redaksi Bintang Timur, menemui Joesef Isak, mantan wartawan Medeka yang belasan  tahun sudah mendekam di penjara Rutan Salemba. Diskusi di lakukan dan tercapailah kesepakatan untuk menerbitkan karya eks-tapol yang selama ini tidak pernah mendapat baik dari penerbit lain. Naskah pertama yang di terbitkan adalah Bumi Manusia sesuai kesepakatan bersama, Pramoedya kembali berjuang mengumpulkan dan memilah kertas doorslag yang berhasil dia selamatkan dari pulau Buru, karena hampir semua naskahnya di sita petugas penjara dan tidak di kembalikan lagi. Meski di hasilkan dalam penjara, Tetralogi Pulau Buru ini menjadi masterpiece. Buku buku Prammoedya pun laris manis di peredaran  pada tahun 1980 dan 1981, yang pertama di terbitkan adalah Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Dan berhasil di cetak ulang sebanyak tiga kali dalam kurun waktu  6 bulan. Rezim Orde Baru murka kerena kecolongan atas munculnya dua kaya Pramoedya tersebut. Kemudian  Krjaksaan Agung RI melarang peredaran buku Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa karena di anggap menjelek jelekkan kaum pribumi. Penerjemah bahasa Inggris, Maxwell Lane yang juga Staf Kedutaan Besar Australia di Jakarta di pulangkan ke negara asalnya. Piihak percetakan juga mundur atas tekanan dari Kejaksaan Agung dan aparat. Kejaksaan Agung juga menarik buku buku yang sudah beredar di masyarakat. Manun  hanya 972 eksempler yang dapat di tarik dari 20 ribu eksemplar. Pada tanggal 15 Agustus 2019 di tayangkan perdana film adaptasi dari buku Bumi Manusia .Menurut pandanganku, tokoh utama di cerita ini merupakan Nyai Ontorsodoh, seorang gundik bernama asli Sarikem. Di cerita ini yang paling banyak membuat berpikir adalah tingkah laku nyai ini. Karena menurutku Minke dan Annelir merupakan  bidak yang di jalankan oleh nyai Ontosodoh. Seperti pada adegan nyai mengetahui Minke dan Annelir sudah melakukan hubungan terlarang. Beliau tidak marah tapi malah menyelimutinya. Meski tidak terlihat jelas, tapi saat aku menonton di film nya, nyai Ontosodoh seperti sedih dan berkaca kaca saat melihat kondisi sepasang remaja tersebut tidak memakai baju di bawah selimut yang sama. Seperti yang ku jelaskan tadi, Minke dan Annelir hanya boneka di bawah ke kuasaan nyai Ontosodo. Nyai ingin Annelir memiliki seseorang yang melindunginya dan ingin Annelir menikah dengan pilihannya sendiri. Seperti dialog yang di sampaikan Annelir di adegan sebelum Annelir menceritakan tentang  masalalu orang tuanya. Di awal saat mengetahui Minke tertarik dengan Annelir, nyai seperti menerimanya dengan senang hati. Apalagi Annelir juga menyambut baik rasa tersebut. Nyai ingin anaknya hidup bahagia besama orang yang di cintainya dan mencintainya. Itu sebabnya  Nyai membiarkan Minke dan Annelir melakukan hal terlarang tersebut, bermaksud agar Minke bertanggung jawab dan menikahi Annelir. Mungkin hanya itu jalan pintas yang ada di pikiran Nyai Ontosodoh saat itu. Apalagi melihat kepribadian  kakak Annelir, Robert, yang buruk.  Semakin membuat Nyai ingin segera membawa keluar Annelir dari rumah tersebut. Di sebutkan Annelir memilki penyakit, seperti trauma terhadap orang Eropa. Nama Minke sendiri bukan nama asli, tapi merupakan nama panggilannya di sekolah yang berarti Monyet. Minke tidak percaya diri saat berada di sekolah yang mayoritas murid dan semua gurunya adalah orang Eropa, sedangkan dia pribumi. Lama kelamaan kepribadian Minke pun menyerupai orang Eropa, penggunaan bahasa, gaya pakaian dan tingkah laku. Meski tampilan seperti orang eropa tidak membuat minke mendapat hak istimewa seperti orang Eropa lainnya, dia tetap di panggil monyet. Orang Eropa menyebut bangsa pribumi sebagai monyet. Untuk awal sangat di sarankan membaca bukunya terlebih dahulu ketimbang filmnya, karena lebih terperinci dan tidak terpotong potong adegannya seperti di film.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU JEJAK LANGKAH

RESENSI BUKU GADIS PANTAI

RESENSI BUKU ANIMAL FARM