Gabut 76
Catatan Harian si Dina. Kamis, 07 Januari 2021. Hari
ini aku dan saudaraku pergi ke Bank BNI cabang Mojokerto di Mojosari. Perjalanan
dari rumah sekitar 45 menit.sedangkan dari rumahku ke Pasuruan hanya
membutuhkan waktu 10 menit. Ya rumahku ada di perbatasan Pasuruan-Mojokerto. Keadaan
ini membuatku kesulitan jika ada kepentingan di pusat kota. Seperti halnya
acara besok. Makrab Immunity, perkumpulan mahasiswa UTM Mojokerto di vila Trawas. Rumahku dari titik kumpul saja
sudah jauh, jadi panitianya sepakat untuk membuat titik kumpul di MAN Mojosari
untuk aku dan kembaranku, kemudian di bawa ke titik kumpul sama panitianya. Ribet
sekali. Semasa SMA dulu saja aku susah jika mencari tebengan. Karena rumahku
yang paling ujung sehingga tidak ada yang lewat disitu. Untung saja kebijakan
Zonasi pada penerimaan peserta didik baru tidak dilakukan pada angkatanku. Jika
itu terjadi kemungkinan warga kelasku hanya ada 15 %, karena kesemuanya bukan
anak daerah Kutogirang. Ada yang anak kabupaten lain bahkan ada yang dari
provinsi lain. Batas Zonasi 3 Km dari sekolah jelas aku tidak akan masuk. Dari rumah
kesekolah itu 9 Km, lumayanlah. Terbayar dengan pemandangan gunung gunung dan
pegunungan di daerah kaki Gunung Penanggungan ini.
Ah ya, perjalanan yang lumayan lama tadi saat aku ke
cabang Bank BNI tadi sangat menjengkelkan bagiku. Kenapa? 3 kali melewati lampu
merah, tidak ada pengendara yang bersabar. Mereka terus terusan membunyikan
klaksonnya. Hei, klaksonmu itu tidak bisa mempercepat durasi lampu merah. Tidak
ada gunanya membunyikan klakson itu. Jalanan bukan hanya punyamu saja, sehingga
kamu ingin jalan yang lancar tanpa hambatan seperti di tol. Saat di tol saja
masih tidak boleh kebut kebutan dan sembarangan dalam menyalip. Apalagi jika
didepan ada truk besar pengakut batu, tanah atau pasir, yang tidak bisa
sembarangan mengebut agar tidak membahayakan pengendara yang ada di
belakangnya. Begitu saja masih terus di klakson pengendara motor di jalan.
Sering kali
aku melihat pengendara motor tidak ada takut takutnya menyalip kencang sekali,
bahkan mepet ke badan truk besar. Padahal keberadaanya tidak terdeteksi oleh
spion pak supir. Kalau terjadi sesuatu pasti yang disalahkan supir truknya. Mentang
mentang mobilnya besar. Bahkan orang orang orang sering kali menjelekkan truk
pengankut cabai karena suka kebut kebutan bahkan jika jalanan sepi di malam
hari. Apalagi keluhan dari pengendara motor yang ada di belakang truk yang
mengaku menghirup panas dari cabai, sehingga menggangu mereka berkendara.
Dibalik semua hujatan itu, sopir truk cabai sedang
mengejar target waktu. Sopir truk cabai harus sudah ada di pelabuhan sebelum
waktu yang ditentukan. Bahkan sudah harus menurunkan barang bawaan. Telat 5
menit saja sudah harus membayar ganti rugi. Biaya ganti ruginya juga tidak murah, dari Rp.100.000,- ke atas
sesuai dengan waktu keterlambatan. Belum lagi jika ada kendala di jalan seperti
mogok atau ban bocor. Atau tidak sengaja menyerempet pengendara lain sehingga
berbuntut panjang. Jelas mereka akan ganti rugi berjuta juga. Dari pusat mereka
hanya mendapat uang pegangan berapa ratus ribu gitu aku lupa, untuk uang
pegangan selama perjalanan. Kalau kerusakan atau ganti ruginya melebihi uang
yang di pegangi ya harus pakai uang pribadi. Banyak ruginya. Aku tahu semua
fakta fakta ini karena di lingkunganku banyak yang berprofesi sebagai supir
truk. Pekerjaan yang terkesan remeh, tapi banyak sekali suka dukanya. Setidaknya
kita menghargai pekerjaanya dengan tidak menyepelekannya. Karena kerja jadi
sopir itu halal.
Komentar
Posting Komentar