RESENSI BUKU PERS DI MASA ORDE BARU
Resensi buku ‘Pers di Masa Orde Baru’
Judul buku : Pers di Masa Orde Baru
(The Press in New Order Indonesia)
Penulis : David T.Hill.
Tahun terbit : Pada juli 2011 oleh
Yayasan Pustaka Obor Indonesia anggota IKAPI DKI Jakarta bekerja sama dengan
LSPP.
Jenis : terjemahan.
Tebal : 232 halaman.
ISBN : 978-979-786-1
Sekilas mengenai sang
penulis, David T.Hill, beliu merupakan seorang jurnalis asal Australia yang
gemar mengkaji pers di Indonesia. David diakreditasi sebagai Penerjemah dan Penerjemah
Bahasa Inggris / Indonesia Profesional (Level 3) oleh Badan Akreditasi Nasional
untuk Penerjemah dan Penerjemah (NAATI), Canberra. Dedikasinya pada Indonesia
terlihat saat beliau mendirikan Australian Consortium for In-Country Indonesian
Studies (ACICIS) pada tahun 1994, sebuah konsorsium lebih dari dua lusin
universitas Australia dan internasional yang membantu mahasiswa asing untuk
belajar di universitas di Indonesia. badan yang duidirikan oleh David ini
mendapatkan pujian dalam Buku Putih Pemerintah Australia di
Abad Asia tahun 2012 sebagai "model
pembelajaran dalam negeri yang berhasil".
Dalam buku ini, David T.Hill menjelaskan bahwa
rezim Orde Baru sejak berdirinya telah melakukan pembungkaman secara sistematis
terhadap pers. Pembredelan demi pembredelan demi pembredelan terus mewarnai
sejarah pers di era orde baru. David T.Hill mencatat pembredelan pers dalam
demokrasi yang selalu digembar gemborkan Soeharto. Aturan aturan yang menekan
dan mengekang kebebasan menyampaikan pendapat. Pers yang melakukan kritik
kritik terhadap kebijakan kebijakan yang dikeluarkan oleh rezim dibungkam.
Pada tahun 1960-an terjadi gonjang
ganjing politik yang melibatkan pers, pada saat itu 46 dari 163 surat kabar
ditutup dengan paksa. Ratusan wartawan yang bersinggungan dengan komunis dan
kaum ‘kiri’ dipecat dari keanggotaan di Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Para jurnalis tersebut di tangkap dan di introgasi secara paksa oleh aparat.
Pembersihan pers dari unsur ‘kiri’ secara besar besaran dilakukan oleh
pemerintah. Kemudian di keluarkan aturan yang digunakan untuk mengendalikan
pers.
Salah
satunya adalah Undang-Undang Pers tahun 1966 yang menyebutkan bahwa penerbitan
surat kabar wajib memiliki dua izin yang berkaitan. Pertama adalah Surat Izin
Terbit (SIT) yang dikeluarkan Departemen Penerangan. Sementara yang kedua
adalah Surat Izin Cetak (SIC) yang diberikan oleh lembaga militer KOMKATIB.
Pencabutan izin salah satu dari kedua surat tersebut berarti secara otomatis
dilakukan pembredelan secara paksa di media tesebut. Di era ini hubungan pers
dan pemerintah dibilang cukup dekat. Kedua pihak ini berada di atas awang
setelah menjatuhkan kepemerintahan Soekarno. Pada masa orde baru, pemerintah
memberi keleluasaan terutama kepada pers yang anti seokarno dan komunis untuk
berkembang.
Kemudian hubungan tersebut
merenggang di tahun 1970-an, puncaknya pada bulan Januari 1974 ketika perdana
menteri jepang Tanaka berkunjung ke negeri ini. kunjungan tersebut dengan aksi
demontransi yang dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat. Setiap harinya banyak
surat kabar menerbitkan mengenai kritikan kritikan terhadap pemerintah. Pada
tanggal 15 Januari 1974 pecahlah keributan yang kemudian disebut Malapetaka 15
Januari (Malari).
Sejak peristiwa tersebut, terlihat jelas pemerintahan Orde
Baru yang asli. 12 penerbitan yaitu Indonesia Raya,
Harian Kami, Mahasiswa Indonesia, Nusantara, Abadi, The Jakarta Times, Mingguan
Senang, Pemuda Indonesia, Ekspres, Pedoman, Suluh Berita, dan Indonesia
Pos dibredel. Semuanya dilarang terbit sampai batas waktu yang tidak
bisa ditentukan. Pers di Indonesia terkurung, tunduk terhadap aturan-aturan
rezim orde baru.
Selain
membahas mengenai kerenggangan hubungan pers dan pemerintah, dibuku ini David
T.Hill jua membahas mengenai industrialisasi pers di Indonesia. sekaligus
menjadi perkembangan baru bagi pers di Indonesia. Di tambah pembangunan ekonomi
pada tahun 1970-an semakin menanjak. Investasi di dalam media mulai diminati
pebisnis, ini juga dilakukan oleh pengusaha pers untuk menyiasati adanya
pembredelan lagi oleh pemerintah.
Secara
garis besar buku ini sangat layak dibaca, apalagi bagi orang yang terjun di
dunia pers. Dari buku ini kita tahu sejarah pers dan apa saja yang membuat pers
berkembang seperti saat ini. Untuk ukuran penulis yang bukan warga Indonesia,
David berhasil menjelaskan secara detail mengenai pers di Indonesia.
Kekurangannya menurut saya hanya pada urutan kejadian yang acak, jujur saja
saya kebingungan ketika membaca tahun-tahunnya.
Komentar
Posting Komentar