Agama Jawa disekitar Kita

 Opini Agama Jawa





        Religion of Java, buku yang berasal dari pengamatan dan penelitian Clifford Geertz di Jawa pada 1952-1954. Geertz melakukan penelitian bertahun-tahun di suatu kota kecil di Jawa Timur, disebut Mojokuto, dipilihnya untuk memberikan kontras terhadap kecenderungan tersebut, karena kota kecil itu memiliki penduduk yang melek huruf dengan tradisi yang tua, urban, sama sekali tidak homogen serta sadar dan aktif secara politik. Di Mojokuto terjadi pemandangan budaya, dimana Islam, Hinduisme, dan tradisi animisme berbaur dalam satu sistem sosial. Tidak berbeda jauh dengan Mojokuto, di sebuah desa yang berinisial Pandan Sari juga mempraktekkan hal yang sama. 


            Dalam buku Religion of Java tersebut -selanjutnya akan dipanggil Agama Jawa saja agar lebih nasionalis- menyebutkan ada beberapa varian dalam praktik keagamaan orang Jawa dan struktur masyarakat Jawa pada umumnya. Varian pertama yaitu Abangan, disini Geertz menyebut varian ini dianut oleh kalangan petani dan penggembala. Varian abangan merupakan varian keagamaan yang menitikberatkan aspek animistis dari sinkretrisme Jawa sebagai pola keagamaannya dan senantiasa dihubungkan dengan petani yang tinggal di pedesaan.Yang pertama mewakili kelompok dengan tidak memedulikan doktrin keagamaan (Islam) dan terlampau memerhatikan detail ritual sedangkan yang kedua merupakan sisi kebalikannya. Varian ini bentuk kasar dari varian Priyayi. Varian Abangan ini didominasi oleh kegiatan kebatinan berupa slametan dengan beberapa jenis. 


            Varian kedua merupakan santri. Santri merupakan varian yang memiliki kecenderungan ketaatan kepada ajaran-ajaran Islam. Penulis menyebutnya sebagai kalangan "Yang mewakili suatu titik berat pada aspek Islam dan umumnya dihubungkan dengan elemen dagang (dan kepada elemen tertentu di kalangan tani juga)". Varian ini mudah dikenali karena afiliasinya terhadap ajaran dan dogma Islam begitu melekat. Namun varian ini tidak semudah kelihatannya, varian santri terbagi dalam dua kelompok besar. 


                Ketiga merupakan varian Priyayi. Priyayi merupakan varian yang menempati struktur elit masyarakat Jawa. Varian ini sering diasosiasikan dengan birokrasi pemerintahan yang sejak zaman kolonial mendapat posisi terhormat di kalangan masyarakat. Sebagai sub-kategori masyarakat Jawa, priyayi lebih mudah diidentifikasi dalam penghadap-hadapannya dengan wong cilik atau massa petani. Varian ini cenderung lebih memprioritaskan kepuasan batin dalam beragama. Kepercayaan spiritualnya masih menganut Hindu-Budha. 


       Sedikit berbeda dengan Mojokuto, Pandan Sari, sebuah desa ujung timur kabupaten yang bediri di kaki gunung Penanggungan dan berbatasan dengan sungai Brantas ini sendiri memiliki dua buah punden yang berdiri ratusan tahun bahkan mungkin saja ribuan tahun lalu. Kedua punden ini masih sering didatangi warga setempat untuk memohon doa, slametan atau ke kenduren. Warga desa Pandan Sari sudah terbiasa melakukan slametan, apalagi di punden. Pernikahan, khitanan, kelahiran bayi, kematian, peringatan kematian, babat sawah, wetonan atau bahkan hanya sebagai wujud rasa syukur terhadap Tuhan yang biasa dipanggil Pengeran. 


            Selain itu, didekat salah satu punden terdapat satu mata air yang menjadi sumber kehidupan warga desa. Mata air tersebut merupakan sumber air yang mengalir dari sumber air di Jolotundo, kaki gunung Penanggungan. Warga percaya bahwa air tersebut mengalir dalam goa sepanjang puluhan kilometer yang berujung pada desa Pandan Sari. Warga menyebutnya Sendang Bening Ketapang, atau singkatnya disebut Ketapang. Sumber mata air ini bukan serta merta hanya dikunjungi untuk menggunakan airnya saja. Namun Ketapang juga digunakan sebagai tempat ritual kebatinan. Pohon besar yang menaungi sumber air ini dililit kain hitam putih, khas Bali, tang disekelilingnya terdapat banyak sesajen dan dupa yang menyala, tanda seseorang baru beranjak setelah melakukan ritual kebatinan ditempat tersebut. 




             Selain melakukan ritual kebatinan dengan cara seperti itu, baru-baru ini juga dibangun tempat yang katanya adalah musholla. Bangunan tersebut didesain dengan akses khas Jawa. Bahkan tidak terlihat seperti tempat ibadah umat muslim. Warga desa Pandan Sari juga masih mempertahankan kepercayaan among-among, atau sajen untuk arwah nenek moyang yang sudah meninggal. Pada acara-acara tertentu, atau pada malam Jum'at, among-among disajikan untuk menghormati nenek moyang yang konon katanya hadir pada saat acara tersebut. 


           Beranjak lebih jauh dari Ketapang, ada sebuah bangunan yang bersebelahan dengan pondok pesantren yang masih berada di kawasan desa Pandan Sari. Bangunan tersebut adalah Perguruan Ilmu Sejati. Tempat berkumpulnya penganut Kejawen pada hari raya besarnya saja. Untuk kesehariannya perguruan tersebut terlihat sepi namun masih terawat dengan baik. 


            Seperti yang sudah di singgung tadi, desa ini juga memiliki pondok pesantren. Yang mayoritas muridnya merupakan warga desa sendiri. Namun, bukan berarti desa ini di dominasi oleh varian Santri, bukan pula didominasi oleh varian Abangan. Apalagi Priyayi, varian Priyayi sendiri tidak terbentuk kelompoknya, namun ada pengikutnya. Mungkin satu dua kali Priyayi akan berkumpul di balai desa. Tidak ada varian yang mendominasi warga desa Pandan Sari.  Satu hal yang membuat warga desa tidak terlibat konflik kepercayaan adalah persamaan agama yang mereka anut, secara formil mereka menganut agama Islam. 

 

 Sebenarnya perbedaan varian ini tidak terlalu kentara jika tidak ditelisik lebih jauh. Meskipun berbeda- beda varian, warga desa tetap hidup rukun dan berdampingan. Tak jarang, warga desa membagikan makanan hasil dari kegiatan- kegiatannya. Misalnya saja warga desa yang mengikuti varian santri membagikan makanan saat hari- hari penting Islam, seperti 1 suro atau saat melakukan tahlilan. 


              Abangan merupakan varian yang sering kali melakukan kegiatan. Seringnya adalah kegiatan slametan. Slametan sendiri rincinya dilakukan oleh sekelompok orang dengan melaksanakan doa- doa tertentu di makam babat desa atau yang sering disebut punden. Sekolompok orang tersebut (biasanya laki- laki) mengitari makanan yang telah dibawa oleh si punya hajat. Biasanya makanan yang dibawa adalah nasi tumpeng yang ditekankan pada ember besi dengan model lawas kemudian dibungkus kain batik atau kain taplak bercorak batik. Lauknya tidak sembarangan, yaitu selalu ada ayam panggang dan urap- urap. Tentu saja dengan tambahan lauk lainnya seperti tahu dan tempe balian, ikan asin, bandeng, dan lauk-lauk rumahan lainnya. Biasanya juga, ember besi tersebut harus diambil pemiliknya langsung ditempat makanan tersebut dibagikan dan dimakan.


             Slametan ini lebih sering disebut 'Tumpengan'. Tidak etis rasanya jika acara ini dilakukan untuk memperingati kematian seseorang, namun disebut Slametan. Untuk hajat pernikahan, khitanan serta memperingati kematian, tidak hanya dilakukan tumpengan saja. Ada juga acara yang biasa disebut Takir. Takir sendiri merupakan sebungkus nasi porsi mini dengan gaya bungkusan daun pisang berbentuk kotak seperti kapal. Dalam Takir ada nasi dengan lauknya yang sedikit, tidak lupa dengan sepotong kecil apem dan selipan uang 1000 sampai 2000 rupiah. Biasanya dibagikan ke anak- anak yang punya hajat. Filosofi Takir adalah apapun keadaannya tetap sedekah terhadap orang sekitar meski dengan makanan dan uang yang sedikit. 


            Kenduren atau tahlilan di varian Abangan juga sedikit berbeda dengan varian Santri. Jika varian Santri melakukan tahlilan hanya dengan kirim doa saja. Warga desa akan menyiapkan pisang beberapa tandan (biasanya berjumlah ganjil) untuk di letakkan di tengah ruangan. Ujung pisang- pisang ini tancapkan sebatang kayu kecil yang ujungnya dibelah- belah  kemudian ditancapkan bunga- bunga khusus seperti mawar, kenanga dan kantil. Namun pisang ini hanya dihadirkan saat tahlilan kematian, peringatan kematian, atau  kenduren pernikahan.


           Pernikahan di desa ini dan desa sekitarnya bisa dibilang cukup unik. Uniknya berada pada bawaan mempelai pria. Warga desa menyebutnya 'Jodang:. Ada dua jenis Jodang, yang pertama Jodang perawan, yaitu suatu miniatur bangunan yang telah di gantungkan berbagai jenis kebutuhan kecantikan mempelai wanita. Namun, barang- barang tersebut tidak boleh diambil oleh mempelai wanita, biasanya diperebutkan oleh 'Wong rewang' sebutan bagi tetangga dan sanak saudara yang datang membantu lancarnya acara hajat tersebut. Bawahnya ada berbagai jajanan kering khas jaman dulu. Seperti ampyang, roti kering bentuk ikan, dan rengginang. Pada ujung ujung nya diberi bambu panjang yang kemudian diikatkan pada kain. Baru kain inilah yang akan diambil oleh mempelai wanita. Kain tersebut berjumlah 4 lembar dengan panjang masing masing 2 meter, biasanya kain tersebut dipilih sendiri oleh sang pengantin perempuan. 


            Jodang perawan ini cara membawanya dengan di angkat dipundak oleh 4 orang lelaki. Agar Jodang seimbang saat diangkat, didalamnya diberikan pemberat seperti semangka, melon, tettel (sejenis ketan putih atau yang ditumbuk saat hangat hingga mengeras, biasanya dimakan dengt ketan tape) makanan makanan yang ingin pihak besan berikan. Jodang satunya bernama Jodang buah, dari namanya saja sudah ketahuan berisi apa. Buah yang diberikan beragam, tergantung keinginan dan kemampuan ekonomi besan dari pihak laki- laki. Cara membawa Jodang buah juga tidak jauh berbeda dengan Jodang perawan. 


            Kemudian bawaan lainnya yang juga satu paket dengan Jodang adalah 'Tuntunan'. Artinya apa yang dituntun. Biasanya Tuntunan berupa sapi atau kambing, onta juga boleh, tergantung perekonomian pihak laki- laki. Semakin kaya mempelai pria, semakin banyak Tuntunan yang dibawanya. Yang menuntun hewan seserahan ini juga bukan sembarangan, harus kerabat, sepupu atau pak de, pak lek. Kemudian ada yang namanya 'Cucukan', bawaan ini berupa replika ayam jago dengan ekor kain panjang, sama seperti yang di Jodang perawan. Di cucuk atau paruh ayam jago ini terdapat perhiasan yang digantungkan. Makin kaya pihak pria, makin berat juga Cucuknya. Ayam jago ini dibawa dengan cara digendong dengan kain gendongan lama atau jarik. Yang menggendong pun harus dari pak lek atau pak de. 


         'Bantal kloso' bawaan lainnya yang digendong oleh Bu de atau bu lek. Berupa kloso' (sebuah alas dari anyaman pandan) yang tengahnya berisi bantal guling, kemudian digulung dengan kloso'. Kemudian ada kebutuhan rumah tangga, berupa kayu yang digantungi berbagai perabotan rumah tangga, beras, kelapa dan kemudian dipanggul. Semua barang- barang tersebut harus diberikan kepada orang- orang yang membantu di dapur. Kemudian ada seserahan lainnya seperti lemari, ranjang, kasur dan meja rias. Proses penyerahan 'Cucukan', Tuntunan dan Bantal kloso' juga ada tidak serta merta diletakkan, namun bu lek/ Bu de, pak lek/pak de dari pihak mempelai wanita yang menerimanya, kemudian memberikan uang (sebagai upah atau seperti jual beli?) kepada pihak mempelai pria yang membawa barang- barang tersebut.  Semua barang tersebut berada satu pakek dengan Jodang. Hanya ada di kecamatan tempat desa ini saja tradisi tersebut dilestarikan. 


       Masih banyak hal unik terkait agama Jawa di desa ini, namun kurang rasanya jika ilmu diberikan tanpa pengetahuan dan penelitian lebih dalam. Tentu saja hal- hal yang disebutkan diatas hanya sebagian kecil yang diketahui. Tidak ada salahnya untuk memiliki kepercayaan yang berbeda-beda, namun masih berdiri kokoh dengan agama yang sama, tetap rukun dan menjaga tradisi. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gabut 68

Kucing dan Ikan Asin

Aku